Kota Sejarah Maritim
Sebuah
cacatan yang berasal dari Syaihkh Abu Salih al-Armini seorang warga Arab menyebut
bahwa sudah semenjak abad ke 7 di Fansur atau Barus telah bermukim sekelompok
orang beragama Kristen. Berita ini dan ditambah lagi dengan fakta bahwa nama
Barusai telah dikenal semenjak kira-kira awal tahun Masehi (karena kapur barus
dan pernah disebut oleh Ptolomeus), serta dugaan-dugaan hubungan Barus dengan
Kerajaan Sriwijaya purba, menimbulkan praduga di kalangan para ahli bahwa
mungkin semenjak abad ke 6 atau 7, telah ada sebuah kerajaan di daerah tersebut.
Jadi jelas sudah pentingnya Barus di zaman dulu. Kita dapat membayangkan betapa
makmurnya kota Barus ini, dengan penduduk yang sebagian besar terdiri atas kaum
pedagang. Tetapi siapakah kaum pedagang itu? Sudah dapat dipastikan bahwa yang
mengekspor kapur barus bukan swasta nasional atau pribumi asli tetapi pedagang
asal India Selatan yakni bangsa Tamil. Ini bukan berarti tidak ada bangsa lain
yang pernah datang berdagang ke Barus. Tetapi kelihatannya khusus mengenai
kapur barus, monopoli dipegang bangsa Tamil tadi. Mereka membentuk semacam
oligopoli agar harga kapur barus ini tetap tinggi. Selain itu, bangsa Tamil
juga banyak bergaul dengan rakyat setempat dan memasukkan kebudayaan yang
dibawa dari India Selatan, makin lama makin melebar ke pedalaman. Penetrasi kebudayaan
Hindu yang berasal dari India Selatan masuk melalui Barus suatu kota pelabuhan
yang dahulu mungkin merupakan salah satu kota dagang tertua, terbesar dan
paling internasional dibandingkan dengan kota-kota pelabuhan manapun di Kepulauan
Nusantara Barus merupakan pelabuhan jarak jauh antara :
- Barus dengan India pada abad ke 11
- Barus dengan Teluk Benggala
- Barus dengan Timur Tengah
- Barus dengan Cina.
Kota Barus ini, selalu membawa
ingatan kita pada kapur barus (kamfer dalam bahasa Belanda, mungkin dari kata
kapur yang diucapkan kofur oleh bangsa Arab). Begitu pula kemenyan (beruoe
dalam bahasa Belanda) mungkin dari kata Arab (lu) ban jawi atau kemenyan
Sumatera.
Kapur barus dan kemenyan
tersebut sudah lama sekali diekspor dari Barus disamping hasil-hasil lainnya
seperti emas, gading dan culabadak. Tetapi kapur barus paling penting, sebab
komoditi inilah yang membuat Kota Barus begitu terkenal didunia waktu itu.
Kapur barus asal kota Barus inilah yang paling banyak dicari karena kualitasnya
yang terbaik, paling laku dan harganya kurang lebih 8 kali lebih mahal daripada
kapur-kapur barus asal tempat lain. (Marco Polo pernah menyebut, harga kapur
barus seperti emas dengan berat yang sama!). Bayangkan bagaimana majunya sebuah
daerah yang memegang monopoli suatu komoditas (kapur barus dan kemenyan) yang
sangat dicari "dunia maju" tempo dulu baik di Asia maupun Afrika
bagian utara dan mungkin di Yunani. Seorang Belanda pernah menulis bahwa
kemenyan dari Barus, telah dipakai sebagai salah satu bahan mengawetkan
(membalsem) mayat raja-raja di Mesir sebelum Masehi. Karena begitu pentingnya
kota Barus ini, maka sejak zaman dulu dalam dunia dagang telah dikenal
nama-nama baros, balus, pansur, fansur, pansuri (dari Desa Pansur sedikit di
utara Barus), kalasaputra (dari kata Kalasan, daerah penghasil kapur barus
antara Kota Barus dan Sungai Chenendang), karpura-dwipa, barusai (oleh
Ptolomeus dari Alexandria sekitar awal tahun Masehi, warusaka dan lain-lain).
Pantai
Barus termasuk ke dalam Kawasan Strategis Hamkamnas, yaitu untuk pendaratan
pasukan di Pantai Barus dan Pantai Pandan, Kabupaten Tapanuli Tengah