Saturday, 8 February 2014

SEJARAH KOTA TUA BARUS




Kota Sejarah Maritim
Sebuah cacatan yang berasal dari Syaihkh Abu Salih al-Armini seorang warga Arab menyebut bahwa sudah semenjak abad ke 7 di Fansur atau Barus telah bermukim sekelompok orang beragama Kristen. Berita ini dan ditambah lagi dengan fakta bahwa nama Barusai telah dikenal semenjak kira-kira awal tahun Masehi (karena kapur barus dan pernah disebut oleh Ptolomeus), serta dugaan-dugaan hubungan Barus dengan Kerajaan Sriwijaya purba, menimbulkan praduga di kalangan para ahli bahwa mungkin semenjak abad ke 6 atau 7, telah ada sebuah kerajaan di daerah tersebut. Jadi jelas sudah pentingnya Barus di zaman dulu. Kita dapat membayangkan betapa makmurnya kota Barus ini, dengan penduduk yang sebagian besar terdiri atas kaum pedagang. Tetapi siapakah kaum pedagang itu? Sudah dapat dipastikan bahwa yang mengekspor kapur barus bukan swasta nasional atau pribumi asli tetapi pedagang asal India Selatan yakni bangsa Tamil. Ini bukan berarti tidak ada bangsa lain yang pernah datang berdagang ke Barus. Tetapi kelihatannya khusus mengenai kapur barus, monopoli dipegang bangsa Tamil tadi. Mereka membentuk semacam oligopoli agar harga kapur barus ini tetap tinggi. Selain itu, bangsa Tamil juga banyak bergaul dengan rakyat setempat dan memasukkan kebudayaan yang dibawa dari India Selatan, makin lama makin melebar ke pedalaman. Penetrasi kebudayaan Hindu yang berasal dari India Selatan masuk melalui Barus suatu kota pelabuhan yang dahulu mungkin merupakan salah satu kota dagang tertua, terbesar dan paling internasional dibandingkan dengan kota-kota pelabuhan manapun di Kepulauan Nusantara Barus merupakan pelabuhan jarak jauh antara :
  1. Barus dengan India pada abad ke 11
  2. Barus dengan Teluk Benggala
  3. Barus dengan Timur Tengah
  4. Barus dengan Cina.
Kota Barus ini, selalu membawa ingatan kita pada kapur barus (kamfer dalam bahasa Belanda, mungkin dari kata kapur yang diucapkan kofur oleh bangsa Arab). Begitu pula kemenyan (beruoe dalam bahasa Belanda) mungkin dari kata Arab (lu) ban jawi atau kemenyan Sumatera.
Kapur barus dan kemenyan tersebut sudah lama sekali diekspor dari Barus disamping hasil-hasil lainnya seperti emas, gading dan culabadak. Tetapi kapur barus paling penting, sebab komoditi inilah yang membuat Kota Barus begitu terkenal didunia waktu itu. Kapur barus asal kota Barus inilah yang paling banyak dicari karena kualitasnya yang terbaik, paling laku dan harganya kurang lebih 8 kali lebih mahal daripada kapur-kapur barus asal tempat lain. (Marco Polo pernah menyebut, harga kapur barus seperti emas dengan berat yang sama!). Bayangkan bagaimana majunya sebuah daerah yang memegang monopoli suatu komoditas (kapur barus dan kemenyan) yang sangat dicari "dunia maju" tempo dulu baik di Asia maupun Afrika bagian utara dan mungkin di Yunani. Seorang Belanda pernah menulis bahwa kemenyan dari Barus, telah dipakai sebagai salah satu bahan mengawetkan (membalsem) mayat raja-raja di Mesir sebelum Masehi. Karena begitu pentingnya kota Barus ini, maka sejak zaman dulu dalam dunia dagang telah dikenal nama-nama baros, balus, pansur, fansur, pansuri (dari Desa Pansur sedikit di utara Barus), kalasaputra (dari kata Kalasan, daerah penghasil kapur barus antara Kota Barus dan Sungai Chenendang), karpura-dwipa, barusai (oleh Ptolomeus dari Alexandria sekitar awal tahun Masehi, waru­saka dan lain-lain).
Pantai Barus termasuk ke dalam Kawasan Strategis Hamkamnas, yaitu untuk pendaratan pasukan di Pantai Barus dan Pantai Pandan, Kabupaten Tapanuli Tengah

No comments:

Post a Comment